KOMPAS.com — Sebuah penelitian yang menyangkut 1.200 anak menunjukkan bahwa kunci kebahagiaan seorang anak terletak pada waktu berkualitas yang ia habiskan bersama ayahnya.
Anak-anak yang memiliki waktu tetap untuk berkomunikasi dengan ayahnya memiliki rating nilai 87 dari 100 untuk skala kebahagiaan. Sementara itu, anak-anak yang jarang berbicara dengan ayahnya menyatakan bahwa skala kebahagiaannya berada di level 79 secara rata-rata.
Hasil studi ini dilansir oleh sebuah lembaga Inggris untuk anak yang bernama Children's Society. Mereka mengatakan bahwa hasil penelitian ini "sangat signifikan" karena riset ini menggambarkan bahwa keberadaan seseorang pada masa dewasa berkaitan dengan hubungannya dengan kedua orangtua saat ia berada di usia remaja.
Responden penelitian ini berusia antara 11 dan 15 tahun dan nyaris setengahnya mengatakan, "hampir tak pernah" berbicara dengan ayahnya mengenai topik penting, sementara hanya 28 persen anak mengatakan jarang berbicara mengenai hal penting dengan ibunya.
Para ayah mungkin saja tak memiliki waktu untuk membincangkan hal-hal yang penting dengan anaknya. Namun, mereka sering kali bermain ala pegulat dengan anak dan ternyata ini adalah hal yang penting pula untuk perkembangan anak.
"Ada penelitian yang mengatakan permainan adu gulat antara ayah dan anak (dengan lembut) bisa mendorong eksplorasi anak pada masa mendatang. Banyak yang berpikir bahwa permainan semacam ini bisa meningkatkan agresi pada anak lelaki. Namun, ada banyak data yang mendukung bahwa hal ini justru mendorong empati pada anak," papar William Pollack, profesor klinis dari Harvard Medical School.
Studi juga menunjukkan bahwa para ayah sering kali menguatkan anak dan mendorong mereka untuk bereksplorasi dan bertemu orang lain. Ayah pun lebih sering mengajak anak untuk bermain ketimbang ibu.
Patrick Tolan, profesor di Curry School di University of Virginia, mengatakan, "Para ibu membantu anak merasa lebih didengarkan, diantisipasi, dan diingini. Sementara itu, ayah mengajar mereka bagaimana berinteraksi dengan orang lain dan bagaimana mengontrol diri mereka saat keinginan mereka tidak terpenuhi (dengan kata lain, mengajar anak tidak manja)."
Sebuah studi lain yang dilakukan di Universite de Montreal School of Psychoeducation berupa observasi interaksi orangtua dan anak balitanya saat mereka berada di situasi berisiko. Contoh eksperimennya, seorang asing mendekati anak dan saat si anak melihat mainan ditempatkan di atas tangga. Di penelitian tersebut, terlihat bahwa ibu mencoba berada dalam jarak yang sangat dekat, sementara ayah mengamati dari jauh. Menurut para peneliti, jarak jauh yang diberikan ayah membuat anak berani untuk mengeksplorasi tanpa harus takut tak ada yang menjaganya.
"Kami menemukan bahwa para ayah lebih mendorong anak untuk mengeksplorasi ketimbang ibu. Gaya yang tak terlalu protektif inilah yang mendorong anak untuk berani bereksplorasi," ujar pemimpin studi, Daniel Paquette. Para anak yang berpikiran mandiri pasti sepakat bahwa mereka akan lebih senang bereksplorasi tanpa adanya pengawasan superketat dari ibunya setiap saat dan setiap waktu, dan hal ini akan menggiringnya ke arah kepuasan pribadi (bahagia). Intinya adalah keseimbangan tanpa perlu overprotektif terhadap anak. Jadi, jangan lupa untuk mendorong suami menyisihkan (bukan menyisakan) waktu untuk anak secara rutin, ya.
sumber: http://female.kompas.com/
Anak-anak yang memiliki waktu tetap untuk berkomunikasi dengan ayahnya memiliki rating nilai 87 dari 100 untuk skala kebahagiaan. Sementara itu, anak-anak yang jarang berbicara dengan ayahnya menyatakan bahwa skala kebahagiaannya berada di level 79 secara rata-rata.
Hasil studi ini dilansir oleh sebuah lembaga Inggris untuk anak yang bernama Children's Society. Mereka mengatakan bahwa hasil penelitian ini "sangat signifikan" karena riset ini menggambarkan bahwa keberadaan seseorang pada masa dewasa berkaitan dengan hubungannya dengan kedua orangtua saat ia berada di usia remaja.
Responden penelitian ini berusia antara 11 dan 15 tahun dan nyaris setengahnya mengatakan, "hampir tak pernah" berbicara dengan ayahnya mengenai topik penting, sementara hanya 28 persen anak mengatakan jarang berbicara mengenai hal penting dengan ibunya.
Para ayah mungkin saja tak memiliki waktu untuk membincangkan hal-hal yang penting dengan anaknya. Namun, mereka sering kali bermain ala pegulat dengan anak dan ternyata ini adalah hal yang penting pula untuk perkembangan anak.
"Ada penelitian yang mengatakan permainan adu gulat antara ayah dan anak (dengan lembut) bisa mendorong eksplorasi anak pada masa mendatang. Banyak yang berpikir bahwa permainan semacam ini bisa meningkatkan agresi pada anak lelaki. Namun, ada banyak data yang mendukung bahwa hal ini justru mendorong empati pada anak," papar William Pollack, profesor klinis dari Harvard Medical School.
Studi juga menunjukkan bahwa para ayah sering kali menguatkan anak dan mendorong mereka untuk bereksplorasi dan bertemu orang lain. Ayah pun lebih sering mengajak anak untuk bermain ketimbang ibu.
Patrick Tolan, profesor di Curry School di University of Virginia, mengatakan, "Para ibu membantu anak merasa lebih didengarkan, diantisipasi, dan diingini. Sementara itu, ayah mengajar mereka bagaimana berinteraksi dengan orang lain dan bagaimana mengontrol diri mereka saat keinginan mereka tidak terpenuhi (dengan kata lain, mengajar anak tidak manja)."
Sebuah studi lain yang dilakukan di Universite de Montreal School of Psychoeducation berupa observasi interaksi orangtua dan anak balitanya saat mereka berada di situasi berisiko. Contoh eksperimennya, seorang asing mendekati anak dan saat si anak melihat mainan ditempatkan di atas tangga. Di penelitian tersebut, terlihat bahwa ibu mencoba berada dalam jarak yang sangat dekat, sementara ayah mengamati dari jauh. Menurut para peneliti, jarak jauh yang diberikan ayah membuat anak berani untuk mengeksplorasi tanpa harus takut tak ada yang menjaganya.
"Kami menemukan bahwa para ayah lebih mendorong anak untuk mengeksplorasi ketimbang ibu. Gaya yang tak terlalu protektif inilah yang mendorong anak untuk berani bereksplorasi," ujar pemimpin studi, Daniel Paquette. Para anak yang berpikiran mandiri pasti sepakat bahwa mereka akan lebih senang bereksplorasi tanpa adanya pengawasan superketat dari ibunya setiap saat dan setiap waktu, dan hal ini akan menggiringnya ke arah kepuasan pribadi (bahagia). Intinya adalah keseimbangan tanpa perlu overprotektif terhadap anak. Jadi, jangan lupa untuk mendorong suami menyisihkan (bukan menyisakan) waktu untuk anak secara rutin, ya.
sumber: http://female.kompas.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar